Muridku, Jangan Kau Ambil Nyawaku - Karya: Cecep Gaos

Sobat alumni, sore hari tadi saya merasa tersentuh, malu & terharu saat membaca postingan berupa puisi yang di posting oleh guru kami tercinta Bpk. John Pieter. Saya baca berulang-ulang sampai akhirnya menemukan makna yang tersirat & tersurat dalam puisi karya Cecep Gaos tersebut.

Kenapa saya baca berulang-ulang..? Itu karena hati saya tersentak dengan judulnya.  Jika sobat alumni hanya membaca judulnya saja, maka mungkin akan bertanya-tanya, apakah maksud dari puisi ini. Seakan-akan bahwa ada seorang murid yang telah berbuat keji. Oooo... ternyata bukan itu maksudanya.... :)

Paragraf demi paragraf coba saya resapi & cari tahu maknanya sebatas pengetahuan saya. Akhirnya dapat mengambil suatu kesimpulan akan makna yang tersirat khusus pada judul yang sangat menggetarkan hati ini.... berikut adalah apa yang saya pahami dari puisi tersebut.

1. Benar apa yang selama ini selalu jadi semboyan & terdengar bahawa seorang guru adalah "Seorang pahlawan tanpa tanda jasa"  padahal beliaulah yang awalnya mencetak seorang jendral mendapat puluhan bintang jasa di dada & pundaknya. Padahal gurulah yang banyak membuat para cerdik cendikiawan & ilmuawan mendapatkan penhargaan MURI, Nobel, dll. Padahal Bapak & Ibu gurulah yang menghatarkan kita menjadi sukses.

2. Betapa banyak pengorbana waktu & tenaga yang diberikan seorang guru untuk kita. Dengan kesabarannya & keihlasannya terus membimbing sejak SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun,  pengorbanan & kasih sayang tidak bedanya seperti orang tua kandung kita sendiri. Saya pribadi pernah mengalami menjalani profesi guru ini walau bukan pada jalur formal. Cuma mengajak main sambil belajar anak-anak kecil yang rata-rata masih usia balita di sebuah TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an). Miris memang saat orang tua datang dengan kata-kata "Pak, saya titip anak saya ya..., Dari pada di rumah main mulu mendingan saya suruh belajar ngaji di sini" duh... makjleb...serasa TPA tempat saya mengajar ini menjadi Tempat Penitipan Anak. 

 3. Seorang guru tidak mengharap balas jasa materi dari muridnya. Melihat muridnya sukses adalah suatu kebahagiaan yang tak terkira baginya. Pun demikian, sewajarnya pihak pemerintah dalam hal ini mungkin Mendiknas & Mendikbud  untuk lebih memperhatikan kesejahteraan para guru. Terutama mereka para guru yang berdinas mengajar di pelosok-pelosok desa, kampung, bahkan hutan.

4. Sungguh saya merasa geram dan marah saat seorang murid merasa trauma & tidak terima saat dididik agak keras oleh gurunya. Padahal galak & kerasnya seorang Guru bukan berarti benci pada muridnya. Melainkan itu semua demi kemajuan muridnya. Orang tuanya pun ikut terbawa emosi dengan melaporkan guru tersebut karena dianggap telah melanggar HAM. Sungguh saat ini banyak berdalih HAM padahal mereka tidak mengerti apa itu HAM karena meraka tak mengenal Tuhan mereka yang telah menciptakan mereka. Zaman Now memang zaman yang sulit membedakan mana putih, mana abu-abu & mana hitam.


Demikian sobat alumni pendapat/review saya mengenai puisi tersebut. Mungkin sobat memiliki pemikiran & pendapat berbeda dengan saya. Untuk jelasnya silahkan sobat baca dan hayati paragraf demi paragraf puisi ini:

Muridku, Jangan Kau Ambil Nyawaku
Karya: Cecep Gaos

Muridku...
Gajiku memang kecil. Tapi itu tak menghalangiku tuk memberikan yang terbaik untukmu. Sepenggal waktu yang kuambil dari keluargaku telah kuberikan padamu. Sekeranjang cinta yang kubawa dari rumahku, telah ku sajikan untukmu. Sekotak kasih sayang yang kucuri dari istriku telah kupersembahkan untukmu.

Muridku...
Mungkin kau tersinggung dengan teguranku. Bisa saja hatimu terluka oleh ucapanku. Jiwamu pun tercabik oleh lisanku. Jika memang seperti itu, maafkanlah aku.

Tapi muridku...
Semua itu, aku lakukan sebagai bukti cintaku padamu. Itu semua bentuk kasih sayang yang bisa kuberikan. Seperti cinta dan kasih sayang orangtuamu padamu, yang selalu mengharapkan anaknya berakhlak dan berilmu.

Muridku...
Jangan kau ambil nyawaku. Keluargaku di rumah sedang menungguku. Istriku yang sedang mengandung buah hatiku, sedang berharap cemas menanti kehadiranku. Ia mengharapkan kedatanganku, tuk membawa pulang sekeranjang cinta dan sekotak kasih sayang yang kucuri darinya untukmu.

Muridku...
Kini ku hanya bisa menatap istriku dari jauh, tanpa ku mampu mengusap linangan air matanya. Ku hanya bisa melihat kesedihannya yang mendalam, tanpa ku mampu memeluknya. Ku hanya bisa memandangi perutnya yang mulai membesar dengan penuh kegetiran, tanpa ku mampu mengusap dan menciumnya.

Muridku...
Kini ku hanya bisa berharap, semoga Tuhan selalu melindungi istri dan calon buah hatiku.


Taken From: WAG Post Bpk John Pieter

Wallohu'alam.
Muridku, Jangan Kau Ambil Nyawaku - Karya: Cecep Gaos Muridku, Jangan Kau Ambil Nyawaku - Karya: Cecep Gaos Reviewed by NCEP Studio on Februari 03, 2018 Rating: 5

3 komentar:

  1. Assalamualaikum ww...
    Terima kasih atas apresiasi puisi terhadap puisi saya tersebut. Menarik, reflektif dan holistik.
    Salam hangat... 🙏🙏

    BalasHapus
  2. Waalaikumsalam Bpk. MasyaAlloh... jadi malu kami pak.:) Mohon maaf jika review/tulisan kami terhadap puisi yang bpk buat mungkin tidak berkenan. Jujur saya pribadi sangat tertarik & sy baca berulang2. Semoga Bapak & sekeluarga selalu di beri kesehatan & keberkahan Alloh SWT.

    BalasHapus
  3. Makasih tuk puisinya mhn isin tuk sy sear ke group sy

    BalasHapus

Silahkan masukan kritik/ saran/ komentar anda

Diberdayakan oleh Blogger.